Selasa, 25 Agustus 2009 0 Comments

Untuk Ayahku Supriyono, Ayah Juara Satu seluruh dunia




Selepas masa SMA, ayah tidak pernah berpikir untuk berkuliah. Setiap hari Ayah memikul padi, kayu apa saja untuk membantu Mbah Sastro. Hidup dari keluarga petani yang sederhana, Ayah meretas mimpi merajut asa. Karena keadaan ekonomi yang lemah Ayah dan sebagian besar saudara-saudaranya memilih untuk berkerja serabutan pada Mbah Sastro. Pada tahun 1970-1990, Sastrodinomo adalah keluarga terpandang, memiliki usaha pande besi, usaha angkutan bis antar propinsi belum lagi tanahnya yang berhektar-hektar. Sebelum kemudian ditinggal wafat oleh sang pemilik (Mbah Sastro kakung) bisnis keluarga ini menggurita di desa Kajar 40 km selatan Yogyakarta. Pakde pernah cerita bahwa dimasa jayanya, Pande Besi pernah memenangkan tender pemerintah untuk membuat 10.000 pacul (cangkul), 5.000 sabit, belum lagi pesanan seperti gamelan. Saat ini trah bisnis Sastrodinomo sudah porak poranda, diwarnai perebutan harta benda diantara para ahli warisnya.

Ayahku tidak pernah banyak bicara. Ayah hanya bicara jika memang ada hal penting yang harus disampaikan. Setiap jam 4 pagi Ayah sudah bangun dan mengambil handuk untuk kemudian mandi. Entah mengapa Ayah begitu suka dengan mandi pagi. Mungkin karena di desa Ayah dulu, air adalah lebih berharga daripada uang. Demi mendapatkan air, warga desa harus menempuh perjalanan 30 km menuju mata air dan kemudian "menyunggi" air kembali ke rumah. Kabupaten asal Ayah sering sekali masuk teve lebih-lebih di masa-masa kemarau. Nama Kabupaten itu adalah Gunung Kidul.

Ayah tidak lebih pintar dari Ibuku. Ayah baru bisa membaca Al-Qur'an pada tahun 2004, yaitu saat Ayah akan pergi Haji dengan Ibu sedangkan Ibu sudah fasih membaca Al-Qur'an sejak Ibu masih remaja. Ibu memang dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang jauh lebih baik daripada Ayah. Namun setelah belasan tahun kemudian, aku tahu Ayah adalah pribadi yang ulet dan berketetapan hati. Meskipun kadang dalam me-lafadz masih terdengar kaku, namun Ayah cuma butuh kurang dari setahun untuk menguasai baca Qur'an, padahal usia Ayah sudah tidak lagi muda.



Saat Ayah memutuskan untuk pergi haji, Ayah tidak berangkat hanya berdua dengan Ibu saja. Ayah memboyong serta Mbah Sastro Putri (Budenya Ayah) dan Mbah Darso Putri (Ibunya Ibu). Mbah-mbah yang sebenarnya sudah berusia lanjut ini awalnya ragu dapat menginjakkan kaki di Tanah Haram, namun Ayah dengan segala upaya meyakinkan beliau-beliau untuk ikut serta Haji bersamanya. Ayah tahu menjadi Haji adalah penyempurna iman seorang muslim, Mbah sebenarnya telah terpanggil secara finansial, namun fisik yang menua diyakini dapat menjadi penghalang.
Mbah Darso kemudian bercerita pernah suatu ketika saat Haji, Mbah tidak mampu lagi membawa kopernya sendiri. Padahal koper Haji berisi 5 liter air zam-zam, belum lagi barang bawaan lain. Ayah dengan sepenuh hati membawakan empat koper sekaligus (Aku sampai sekrang masih tidak bisa membayangkan hal itu bisa terjadi). Ayah juga harus selalu menjaga Mbah-Mbah dan juga Ibu selama ibadah haji berlangsung. Subhanallah..


Ayah adalah model orang desa yang sukses di kota. Setiap kali lebaran, Ayah selalu berkunjung ke tanah kelahiran. Setiap tahun tidak pernah terlewatkan, alhasil belum pernah sekalipun seumur hidupku aku shalat ied di Malang.
Setiap kali Ayah sampai di desa Kajar, teman-teman lama menyalami sambil tersenyum kagum. Setiap kali Ayah sampai di desa Kajar, Ayah bagaikan pahlawan pulang dari medan perang! Maklum jaman Ayah masih muda dulu, kebanyakan remaja seusia Ayah hanya jadi kuli angkut, supir bus Wonosari-Yogya, peladang, ataupun pekerja serabutan.

Profesi Account officer mungkin tidak pernah eksis di benak para pemuda-pemuda Kajar semasa itu. Sebenarnya Ayah juga demikian, hanya nasib, kerja keras dan doa Orang Tua yang mendasari kesuksesannya.

Ayah saat ini yatim-piatu, namun Ayah telah mampu membanggakan Orang tuanya, Kakek- Nenek Pawirodinomo di surga. Ayah bermimpi dan Tuhan memeluk mimpi-mimpi Ayah sehingga terwujud saat ini. Aku sangat bangga pada Ayahku ini, sewaktu sahur aku sampaikan ucapan selamat ulang tahun padanya. Aku kecup lembut tangan dan gurat-gurat kasar di wajahnya. Selamat Ulang Tahun aku ucapkan pada Ayahku, Ayah Juara satu.
Jumat, 21 Agustus 2009 3 Comments

Amul Huzni



Sudah 7 bulan ini semua aku serahkan demi titel Sarjana Teknologi Pertanian disematkan dibelakang namaku. 7 bulan aku menyerahkan diriku demi skripsi. Sepanjang waktu itu pula diam-diam aku mencoba mencari pekerjaan dengan satu tujuan, memperbaiki semua sehingga kembali sedia kala. Aku merahasiakan ini semua karena belum tentu daya dan upaya ini bisa berhasil, bukankah terlalu beresiko melalui jembatan jika pondasi saja masih belum kering. Siapa tahu ini akan menjadi kejutan yang manis tak berperi?!

10 Januari 2009,
Dia adalah wanita yang pendiam, dan aku belajar bahwa wanita pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh lebih besar daripada wanita yang cerewet. Daun-daun berguguran ketika kami bertemu siang itu, tak banyak kata yang terungkap tapi aku tahu dia sedang memanggul beban yang berat. Wajahnya tak lagi berbinar. Aku tahu situasi kami sedang tidak bagus, aku tahu dia juga dalam posisi yang serba salah. Mungkin dia sudah muak dengan ketidakpastian dan cobaan yang datang seperti tak pernah putus. Maka aku tidak akan pernah menyalahkan dia. Aku selalu berjanji untuk mewujudkan semua impian yang pernah kita miliki, tapi hari itu bibirnya bergetar, mukanya pucat, aku sadar ada beban berat jika kami terus bersama. Air mata menepi di pelupuk matanya. Aku tiada lagi sanggup menahan diri jika dia kemudian menangis. Mungkin dia meratapi betapa berlikunya jalan yang harus kami lalui jika kami terus bersama. Aku tidak ingin melihat dia tidak bahagia, dan sampai detik ini aku mungkin menjadi beban bagi dirinya. Aku tidak sampai hati melihat dia hidup begitu terbebani. Hatinya yang lunak dan putih, mungkin akan terus terluka jika aku memaksakan untuk teru bersama. Aku dekatkan diriku padanya. Aku mengiyakan apa yang menjadi permintaannya. Aku tersedu sedan tanpa air mata. Anganku menembus cakrawala membawaku kembali pada sore itu...

Un Sol Em Noite (matahari dikala malam)
Aku masih terbayang-bayang perkataan Ibu waktu itu, "Jangan bersedih, apa tidak ada anak SMA3 di jurusanmu?". Ternyata langit menyimpan perkataan Ibu dan menjadikannya mozaik dalam kehidupanku. Sore itu penerimaan mahasiswa baru dijurusan, berderet-deret mahasiswa baru melakukan pendaftaran ulang dan harus melakukan interview dengan para seniornya. Aku lelah dan sama sekali tidak menarik apa yang terjadi saat itu di himpunan. Seketika itu juga aku berniat untuk secepatnya meninggalkan tempat. Ketika aku hendak keluar dari pintu Himpunan, sesosok wanita yang familiar mendadak muncul dihadapanku.
Juwita Malam Siapa Gerangan puan
Juwita Malam dari bulankah puan..

Dia tersenyum. Aku tahu aku juga mengenalnya. Diam-diam setelah dia pergi, aku kembali masuk ke Himpunan. Posisiku sebagai Ketua Pelaksana OPJ membuatku dengan mudah dapat mengakses semua data-data Maba 2004. Setelah melihat foto dan data diri, aku langsung mengetahui nama dan alamatnya. Rizki Fadila.Mataku berbinar, aku yakin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Di Dasar Jurang
Kamu adalah teristimewa
Kamu telah memberi banyak kekuatan untukku selama ini
Tapi tidak berarti kita harus bersama
Tidak perlu ada yang harus disesali, aku harap kamu juga demikian
Tidak ada cara yang mudah untuk mengatakan ini semua. Tapi aku yakin kamu mengerti.
Di satu titik perasaan itu mengkristal dan biarkan aku menyimpannya.
selamanya.
Ijinkan aku kembali berjalan di setapak kecilku.

Tuhan Tahu Aku Hanya Ingin Melihatnya Bahagia
Maka malam itu aku menelponnya, mungkin malam itu pula kami resmi berpisah. Malam 20 Agustus 2009, mata kami berkaca-kaca, aku yakin dia juga merasakan kepedihan mendalam seperti juga yang aku rasakan. Ingin rasanya aku memeluknya dan mendekapnya erat. Aku bangga dengan empat tahun kebersamaan dengannya. Perpisahan ini tidak ada apa-apanya. Aku sangat kehilangan karena kita selalu bersama. Dengan terbata dia berkata " Semuga kamu menemukan kebahagiaanmu Mas", aku hanya bisa diam, aku mengerti maksudnya. Hatiku menjadi dingin, pipi kami menjadi basah, betapa aku akan sangat kehilangannya. Malam itu bintang membawa pergi bulan pergi, keduanya tak kuasa menjadi saksi bisu kesediahan yang tumpah ketika kami berpisah. Semua ada disitu: kenanganku, cintaku, hatiku, kebahagiaanku, cita-citaku, jati diriku, tangisku, pacarku, adikku, kekasihku, garis nasibku dan semua perasaan sayangku.
Maka Jangan pernah kau samakan lada dengan pala
Berbeda rupa, tak padan rasa
Rela Kanda menginjak Bara
Demi cinta suci Adinda


Selamat Ulang Tahun ke 24, kabul kajate!
Selamat Ulang Tahun Mas Andik, 24 Tahun telah berlalu begitu banyak tentunya yang telah kamu alami. Begitu banyak pelajaran yang sudah kamu petik. Ini semua tentu sulit namun bukankah kesulitan adalah bagian dari tatanan hidup maha sempurna milik Sang pencipta? Lihat bagaimana Nabi Muhammad menjadi makin bertakwa setelah tahun kesedihan yang dia alami? Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi Rasulullah. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur disaat beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat paling kritis, menyokong penyampaian risalahnya, ikut serta bersama beliau dalam rintangan yang menghadang jihad dan selalu membela beliau baik dengan jiwa maupun hartanya. Tidak kah penderitaan mu ini hanya seujung kuku saja? renungkanlah..
 
;