Minggu, 26 Desember 2010 0 Comments

Euforia Timnas Garuda di ajang AFF 2010

Rasa-rasanya sudah lama tidak terlihat suasana antusias dan penuh semangat dari para penggila bola tanah air seheboh dan segila euforia gelaran AFF 2010.
AFF 2010 ini agak berbeda dibandingkan gelaran pada tahun-tahun sebelumnya. Setelah wajah persepakbolaan Indonesia sempat tercoreng karena ulah "sepakbola gajah"-nya, kali ini Indonesia patut berbangga karena timnas garuda mampu mencapai final AFF 2010 dan akan menghadapi Malaysia.
Kesuksesan timnas kali ini tidak bisa dipisahkan dari 2 faktor utama yaitu Alfred Riedl (pelatih) dan bergabungnya pemain-pemain naturalisasi (Irfan dan Gonzales) . Alfred Riedl boleh dibilang adalah pelatih bertangan dingin, dengan jelinya dia menggunakan formasi 4-4-2 dan berani merevolusi wajah-wajah lama di skuad garuda untuk kemudian di gantikan oleh nama-nama baru macam Bustomi, Okto, Suyono. Bahkan pemain sekelas Bambang Pamungkas pun harus rela start beberapa kali dari bangku cadangan.
Selain kinerja moncer dan revolusi ditubuh skuad Garuda, ada satu lagi fenomena yang muncul yakni fanatisme dan militansi luar biasa walau sempat menjurus anarkis dari penggila bola tanah air. AFF 2010 benar-benar menjadi saksi betapa masyarakat haus kemenangan, haus kebanggaan, setelah hampir beberapa tahun terakhir sama sekali tidak membanggakan menjadi warga negara Indonesia. Kalau anda sempat berkeliling ke daerah GBK, anda akan melihat antrian panjang, sangat panjang, berjubel, padat, tidak bergerak, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka sudah sempat bermalam sembari menunggu loket penjualan tiket AFF 2010 putaran final dijual.
Memang luar biasa gairah dan antusiasme para suporter timnas tahun ini, namun hal ini juga menimbulkan kerawanan tersendiri. Kerumunan orang yang antri demikian lama, tentu sudah berada pada level psikologis dan emosional terendah, rawan ribut dan rawan ricuh. Di beberapa liputan televisi telah terjadi para pengantri tiket ini berbuat anarki dengan meluapkan kemarahan pada kantor PSSI, dan melakukan penghajaran terhadap calo maupun petugas tiket. Sesungguhnya pemerintah, Panpel AFF maupun PSSI adalah pihak-pihak paling bertanggungjawab jika kemudian para suporter bola ini ricuh. Meskipun Indonesia adalah bangsa yang "gila bola" dengan basis suporter paling fanatik se Asia Tenggara namun cara-cara penanganan tiket masih seperti negara terbelakang.
Saya hanya berharap timnas Garuda menang, namun apabila ternyata dewi fortuna tidak berpihak kepada Indonesia, semoga saja kekecewaan para suporter tidak sampai berlaku anarkis yang berujung huru-hara. Semoga.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Minggu, 19 Desember 2010 2 Comments

Bogor - Jakarta (suatu ketika didekat jendela bis antarkota)


"Tissue,permen,tolak angin-tolak angin-tolak angin", kata seorang asongan membuyarkan konsentrasiku. It's 8:30 dan aku membisu dalam bus trayek bogor-jakarta. Tidak terasa sudah satu tahun dua bulan aku merantau keluar dari zona nyaman kota Malang,dimana aku mengeram lebih dari 20 tahun lamanya. Semua aku lakukan, demi Tuhan, bukan atas nama ambisi pribadi. Semata-mata aku ingin memprovide yang terbaik bagi anak dan istriku kelak. Mungkin sementara hanya ini yang bisa aku lakukan, mempersiapkan kemapanan finansial. "Lalu bagaimana dengan aspek rohani? Apakah aku sudah siap menjadi imam bagi istriku kelak? Bukankah menjadi suami itu pertanggungan jawabnya dunia-akhirat?"

Bukannya diri ini tidak mempersiapkan kematangan secara rohani,kematangan secara agama, tapi memang terusterang saja untuk persiapan aspek rohani menyisakan Pe-er yang cukup banyak. Logikanya sebelum aku ngopyak-ngopyak istriku baca qur'an,seyogyanya aku sudah rutin baca qur'an terlebih dahulu. Sebelum aku membangunkan sholat malam istriku, semestinya sholat malam sudah ibarat sego-jangan bagiku. Dan aku sampai saat ini belum bisa melakukan semua itu, hanya karir saja yang aku sudah bikin pathnya, yang lain masih kabur! Kedonyan mungkin ini kata yang pas. Bukannya tidak berpikir kearah sana, tapi maksud aku biar aku persiapkan secara berurutan tidak sekaligus. Bukan mengabaikan, aspek itu sangat penting, aku sepakat mutlak, namun kapasitasku masih belum mampu untuk mempersiapkan keduanya secara bersamaan. I'm not seeking for excuses. Kalau karena hal ini kemudian aku dianggap belum siap, that's not fair. Aku jadi teringat diskusi ringanku dengan Dimas waktu itu di sisi lapangan sebelum pertandingan Indonesia vs Vietnam, dia berujar "bro, ketika aku memilih seseorang untuk menjadi istriku, yang aku timbang-timbang adalah apakah dia bisa aku rubah agar sesuai dengan apa yang aku inginkan? Kalaupun aku harus menerima dia dengan kondisinya, sampai sejauh mana aku mampu mentolerir kelemahan-kelemahan/kekurangan dia" "no bodys perfect my friend" sambungnya. Kita bicara potensi seseorang, kita bicara possibility, bukan kondisi saat ini, masa kini. Karena everybodys changing, isn't it?
Kemudian terlantunlah dari bibir para musisi lagu jalanan yang numpang cari nafkah di dalam bis. Lagu berjudul "apa salahku" yang entah bagaimana bisa menambah sendu suasana bis pagi ini.
#Apa salahku, kau buat begini/kau tarik ulur hatiku/hingga/sakit yang kurasa...#

Nb : penulis sedang rindu setengah mati


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT



 
;