Sebagaimana menanam keburukan maka akan menuai keburukan, sedangkan jika kita menanam kebaikan pun akan sering berbuah kebaikan pula. Dan satu kebaikan kecil akan memberikan perubahan yang luar biasa besar [sang pemimpi, hal. 184]
Seberapa banyak dari kita yang telah mulai kehilangan makna dalam menjalani hidup di dunia ini? Alih-alih berbuat yang terbaik justru malah larut dalam rutinitas tanpa makna.
Betapa banyak dari kita mulai dengan ringan mengucap kata "Miss You" atau "Aku Sayang Kamu" kepada pasangan kita dalam kondisi sekedar membuat pasangan kita tidak jadi cemberut. Kata yang diucapkan begitu enteng, saking entengnya tidak sampai semenit sudah menguap bak tetesan alkhohol pada kulit manusia.
Atau betapa banyak Istri-istri jaman sinetron "Isabella" mulai lupa bagaimana menyambut suaminya pulang dari kerja. Ada yang dengan santainya berkata "Kopi-nya bikin sendiri deh , Pa!" sambil meneruskan menonton televisi. Pun demikian sang Suami, himpitan deadline kerjaan lebih penting ketimbang melihat perkembangan si kecil yang mulai belajar mengeja.
Apa jadinya Dunia ini jika kemudian Pak Tani sudah kehilangan makna bercocok tanam? Ketika yang dipikirkan hanya meraup keuntungan besar tanpa memikirkan kualitas dari bulir-bulir padi yang dihasilkan, tingkat penggunaan pestisida, maupun dalam pengolahan lahan pertanian itu sendiri.
Apa yang kemudian akan terjadi jika penarik gerobak sampah tidak lagi punya makna dalam menjalani tugas-tugas mengangkut sampahnya? Disela peluhnya yang bercucuran maka sambil menggerutu dia sekadar memindahkan sampah dari tong ke gerobak. Dia tidak berusaha memaknai bahwa tanpa kehadiran mereka Dunia sudah tertutup sampah saat ini.
Lalu apa jadinya ketika Guru-guru dan Dosen kemudian rame-rame melamar jadi pegawai perusahaan minyak atas dasar perbaikan kesejahteraan. Yang terjadi adalah kekosongan garda depan pembebas bangsa dari buta aksara, the lost generation bahkan mungkin sikap kebinatangan merajalela di segala penjuru bumi tanpa sentuhan pelajaran budi pekerti.
Saudara-saudaraku yang sedang berjubel dalam bis kota demi sesuap nasi di Ibu kota, kawan-kawan buruh yang menjadi roda perekonomian negara dan pemimpin-pemimpin bangsa yang sedang merumuskan strategi memakmurkan negeri. Mari kita rehat sejenak dari kesibukan yang kita lakukan saat ini dan bertafakur sejenak. Apakah tanda-tanda kehilangan makna sudah mulai menodai aktifitas anda sehari-hari?apakah yang anda kerjakan saat ini hanyalah semata demi gajian esok nanti? Apakah anda sering mengeluh dengan keadaan yang anda alami saat ini?
Mari kita rubah dunia ini dengan satu langkah kecil, kawan. Memaknai kembali segala aktifitas yang sekarang kita lakukan. Dengan kesadaran penuh tentang pentingnya peran-peran anda dalam menjaga kehidupan ini tetap balance, maka tidak perlu risau jika saat ini anda adalah seorang penjual sayur, berangkatlah dengan ikhlas setiap shubuh menjelang, memutari blok demi blok perumahan mejajakan sayur-mayurmu, karena disetipa rumah ada anak-anak yang membutuhkan gizi dari sayurmu itu. Bagi penjual gado-gado diseputaran kampus, ikhlaskan setiap cucuran keringat yang jatuh ke bumi setiap kali engkau menghaluskan bumbu kacang, karena mahasiswa-mahasiswa calon penerus bangsa membutuhkan nutrisi untuk berpikir mengerjakan tesis mereka tentang persoalan bangsa. Terakhir namun tak kalah penting, bagi para pelajar di seantero nusantara, dibahu-bahumu ini kemudi bangsa nantinya disandarkan, maju atau hancurnya bangsa ini terletak pada derap langkahmu menuntut ilmu 6 hari seminggu.
Tidak satu tetes pun keringat jatuh ke bumi tanpa sepengetahuan-Mu, tidak satu ujung daun pun jatuh ke bumi tanpa kehendak-Mu. Maka hebatkanlah kami dalam mengejar ridho-Mu. Ilhamkan lah keikhlasan yang luhur dalam setiap detak jantung kami. Dan jika kami tidak Engkau beri peran besar di bumi ini maka cukup Engkau lipat gandakan peran-peran kecil di setiap langkah kami. Amin
Footnote :
[original post in http://andikababulu.blogspot.com/2009/09/mamali-mari-memaknai-kembali.html]
[terinspirasi oleh Cahaya yang Baik]
0 Comments:
Posting Komentar