Bahkan sebuah perjalanan 1000 km jauhnya selalu diawali dengan langkah pertama yang kecil dan langkah itu dilakukan sekarang..saat ini ! (Malang, 20 November 2009)
Belum pernah aku lama-lama memandang lekat-lekat sawah yang terhampar luas di depan jendela kamarku, aku juga tertegun lama ketika memandangi pasar Dinoyo, pasar kumuh bau dan kuno yang biasa aku jadikan patokan buat teman-teman yang kebingungan mencari arah untuk menuju ke rumahku, rasa-rasanya beru kemarin Pak Turi, tukang becak langgananku, mengantarkupulang pergi ke TK Dewi Sartika lewat jalan depan Pasar Dinoyo ini. Lebih gila lagi kamar tempat aku rebah mendengkur, tempat aku mengistirahatkan badan setelah babak belur dihajar kehidupan, Masya Alloh gamang betul meninggalkan semua ini.
Kota kecil yang berjarak sekitar 100-an kilometer dari Surabaya ini begitu istimewa bagi diriku. Dikota ini aku menghabiskan nyaris seumur hidupku. Dikota ini aku belajar naik sepeda roda dua, pergi ke surau belajar mengaji, memiliki kawan-kawan sejati, menghirup pagi di hutan pinus, menjadi bagian garda depan siswa SMU ternama, jatuh ke sungai, menembus Fruit tea Funky Color tahun 1999, hampir mati diserempet truk gula, terjatuh di persimpangan ITN (belum ada traffic light),mengalami patah tulang tangan kiri, dilempari batu anak kampung Ambarawa, naik angkot bayar dua ratus rupiah, menjadi ace striker siji pitu, dimarahin orang tua pacar, nembak cewek pake seragam paskibra, nyuri singkongnya Mbah, jadi pengawas ujian SMP, nyari duit dari jual teh botol pas wisudaan, membersihkan counter MCD Mitra 1, mergokin maling, ngilangin sepeda motor temen, patah hati berkali-kali, dan adu jotos di lapangan bola.
Selama ini aku selalu merasa kuat cukup kuat kalau sekedar menghadapi preman-preman terminal Ubung Bali, namun malam ini ternyata aku baru menyadari aku masih gamang pergi jauh dari Malang. Malam setelah aku menandatangani kontrak kerja, aku menyusuri jalanan kota Malang. Sepanjang jalan aku mengenang kembali setipa sudut kota yang mungkin sudah ribuan kali aku lalui. Namun malam itu kota ini terasa berbeda, ketika melalui jalan pasar belimbing menuju terminal Arjosari, anganku melayang pada tahun 2008, nyaris hampir empat bulan lebih aku riwa-riwi mengejar Bus Tentrem jurusan Pasuruan. Dan malamnya menapaki jalan ini untuk pulang kerumah sekedar merebahkan badan.
Belum lagi kawasan tugu tepat aku menghabiskan masa-masa remajaku, SMA garda depan Malang terlihat tetap angker seperti pertama kali aku menginjakkan kaki. Di SMA garda depan malang raya ini banyak kenangan manis dan pahit menyertai selama tiga tahun bersekolah disana. Dulu aku cukup berandal ketika masih disana, entah sudah berapa kali aku harus berurusan dengan Guru Tatib gara-gara terlambat atau pelanggaran-pelanggaran khas remaja yang semaunya sendiri. Tentu Top of the Top pelanggaran yang aku buat saat itu adalah dihukum seharian sekolah tanpa alas kaki. Sungguh malu bukan buatan, Guru Tatib pada masa itu adalah persis seperti penggabungan dari anggota dewan dan polisi, timpang, kritis namun tidak cermat, dan yang pasti tanpa ampun!
Meskipun aku berkulit sawo matang dan berambut gelombang bukan berarti aku tidak bisa mendapatkan gadis yang aku mau, kawan. Di masa itu, aku termasuk bilangan segelintir pejantan yang sanggup menaklukan bunga-bunga kelas. Tapi jangan dulu kamu menilaiku seberandal itu, tentu saja gadis-gadis itu tidak serta-merta menerima sembarang laki-laki, bukan? Jabatan sebagai Ketua Bidang Olah Raga jelas merupakan jabatan penuh prestise yang dengan menyandangnya tiba-tiba serasa lebih kuat untuk sujud 23 rakaat, lari keliling tugu lima kali, dan lihai memainkan berbagai macam olahraga ketangkasan. Karena secara tampang aku tidak bisa terlalu berbangga,kawan. Di SMA garda depan itu banyak sekali pejantan yang punya rupa lebih manis, lebih tampan dan lebih klimis seribu kali daripadaku. Untuk menutup kelemahanku itu, terkadang setiap pagi aku dan Hakim menghambur mencari kaca besar dahulu sebelum masuk kelas. Kami selalu membawa Gatsby Hard yang khusus untuk memoles rambut agar tampil trendi. Masa itu potongan rambut ala Tintin sedang in! apalagi kami menjabat posisi terpandang di kelas dua-satu yakni Hakim sebagai ketua kelas dan aku sebagai wakilnya. Jabatan penting harus ditunjang dengan penampilan prima, kira-kira demikian motto kami waktu itu. Memang benar kata Bang Haji Rhoma jauh-jauh sebelum kami lahir ke bumi. Kurang lebihnya begini "darah muda, darahnya para remaja". Dan aku beritahu kawan, di SMA garda depan ini tidak ada yang lain yang lebih mengenal Bang Haji selain kawanku, Akhmad. Meskipun saat ini dia sudah menjadi akuntan di perusahaan minyak milik bangsa penjajah Indonesia, namun melalui status Facebooknya dia masih suka mendendangkan lagu-lagu milik Bang Haji. Aku rasa Akhmad tentu senang dengan kehadiran anak Bang Haji yang nampak siap menggantikan peran Bapaknya di kancah perdangdutan Indonesia.
Akibat terlalu banyak bersenang-senang ketimbang belajar pada akhirnya Tuhan Yang Maha Adil tidak tinggal diam, nanti aku sambung lagi masalah ini dilain cerita, kawan.
Selepas Magrib aku rebahkan diriku di dalam kamar mengenang lingkungan RW 08 tempat aku tinggal. RW 08 ini memang istimewa, jika pagi segarnya udara seribu kali lebih murni daripada Jakarta yang makin hari makin kotor, jika panas terik maka di dalam rumah masih terasa angin sepoi-sepoi, jika tidur maka seakan tidak ingin bangkit kembali, dan yang sampai saat ini mengherankan banyak kawan yang pulang kampung adalah gerak jam disini serasa begitu lambat, kehidupan juga mengalir begitu tenang, tidak terburu-buru semua bergerak tenang setenang ayunan daun-daun pohon mangga depan rumah. Di Karang Taruna RW 08 aku, Hazim , dan Tufail adalah 3 pilar pemerintahan, jika aku sebagai pengambil kebijakan dan penentu arah kemudi, maka Hazim ahli memprovokasi massa dan cermat dalam memegang bidang keuangan, sementara Tufail adalah penyeimbang diantara aku dan Hazim, tak jarang jika terjadi perbedaan pendapat maupun cekcok antara aku dan Hazim yang sama-sama punya watak keras kepala maka Tufail-lah yang jadi penengahnya. Pemerintahan kami menjadi tinta emas di era karang taruna RW 08.
"Kita harus merantau, Bang! "
Kata rantau ini masih asing bagi telingaku, terlalu nyaman aku berdiam di Malang sehingga kata-kata ini sangat jarang aku dengar. Namun mau tidak mau suka tidak suka di jaman serba susah seperti ini hidup merantau sudah amat tidak terelakkan lagi. Akhmad dan Hakim sudah lebih dulu jauh merantau di Ibukota yang aku dengar dinominasikan menjadi Kota dengan penduduk yang hanya beberapa strip kepadatannya di bawah New York.
Gambaran keluarga kecil masa depan, satu istri tiga anak, semua berada di balik bayang-bayang merantau. Sepertinya dengan merantaulah, aku dikemudian hari bisa mewujudkan gambaran keluarga masa depanku itu. Pagi ini air mata yang menetes justru dari adikku, bukan dari gadis-gadis seperti Fahimah, Khansa' ataupun Tsana, dia Yunita Adyari Mirastuti. Jikalau senang aku cubitin pipi adikku, di kala sebal kadang aku tarik-tarik jilbabnya. Gadis kecil ini akan jadi anak tunggal kandung yang akan menemani Ayah dan Ibuku di Malang. Sambil bercucuran air mata kami saling mengucap doa, tak kusangka Dia yang biasanya begitu benci terhadapku berurai air mata mengetahui aku hari ini akan pergi untuk waktu yang lama. Mungkin inilah yang dimaksud benci tapi rindu.
Doakan aku Yah, Doakan aku Bu, anakmu merantau..
Footnote :
1). Merantau ke Jakarta, semuga saja ketika penempatan masih dapet di Jawa
2). Tulisan asli di http://andikababulu.blogspot.com/2009/11/kerja-0-km-nikah-1000km-nyium-hajjar.html
1 Comments:
Hmm...Andik rasa Hirata.Ya kan? ;)
Posting Komentar