Minggu, 15 November 2009

Kisah Sepasang Sandal


Aku dibeli dari sebuah pasar rakyat yang jalan-jalannya becek dan disudut-sudutnya dipenuhi tumpukan sampah. Saking kumuhnya pasar ini, bau busuk seperti menyeruak dari segala penjuru pasar ini. Dari selokannya yang buntu, dari tumpukan sampah yang mulai membusuk dan dari air cucian pedagang semuanya berbau busuk. Nampaknya aku harus bersabar dalam penantian panjangku di sudut pasar ini. Menanti pembeli sandal yang rela menyibak kumuhnya pasar ini hanya demi membeli sandal.

Betapa girang hatiku setelah sekian lama aku harus berjejalan di rak yang lusuh menanti dibeli seseorang. Semenjak aku dibuat, pengrajin sandal sudah mematri ingatan ku kuat-kuat sebuah keinginan untuk mengabdikan sepenuh jiwaku untuk Tuanku nantinya. Tugasku sebenarnya cukup sederhana; menjaga kaki Tuanku tetap bersih dari debu dan tidak lecet karena bergesekan dengan tanah.


Dan Tuanku yang baru sangat suka berlari. Kemanapun dia pergi dia selalu berlari, tentunya dengan memakaiku, si sandal baru. Aku berupaya menguatkan sendi-sendiku agar tetap kokoh melapisi kaki Tuanku. Aku relakan bagian diriku harus memuai akibat panasnya jalan, meringis menahan perih karena tergesek kerikil. Tuanku mengajakku berlari menyusuri pematang sawah, menemui safana, berendam di sungai berair jernih, ataupun mengaji di surau. Aku begitu bahagia menemani kemanapun Tuanku pergi. Hingga setiap hari baru menjelang, aku selalu sambut dengan sebuah tanya "kemana kiranya hari ini Tuanku akan membawaku?"

Tidak ada yang dapat mengalahkanku kekagumanku pada Tuanku. Meskipun aku hanya sebuah sandal jepit biasa namun Tuanku memperlakukanku dengan istimewa. Setiap minggu aku dibersihkannya, Tuanku membersihkanku dari debu, menyabuniku hingga wujudku selalu nampak baru. Aku bisa merasakan perhatian istimewa dari Tuanku ini kepadaku. Hingga suatu ketika Tuanku memahatkan inisial namanya di badanku sebagai tanda Dia tidak ingin aku tertukar dengan yang lain. Inilah yang membuat semakin hari aku semakin menyayangi Tuanku.

Hingga di suatu sore aku menemani Tuanku bermain dengan kawan-kawannya. Untuk pertama kalinya aku terkejut dengan keberadaan sandal-sandal lain yang menyelip di kaki kawan-kawan Tuanku. Sandal-sandal ini begitu cantik, begitu unik dan begitu serasi dengan kaki Tuannya. Sandal berwarna-warni itu keluaran pabrik sandal model terbaru. Penampilannya yang begitu menawan membuat dalam beberapa bulan sejak peluncurannya, sandal model terbaru ini laris manis di serbu pembeli. Tuanku diejek oleh kawan-kawannya karena masih menggunakan model sandal yang lama.


Malam pun menjelang, disudut rak sepatu aku termenung memikirkan peristiwa tadi sore yang menimpa Tuanku. Aku tentu merasakan tidak enak hati karena akibat keberadaanku, Tuanku dianggap ketinggalan jaman. Jujur saja keadaanku saat ini sudah tidak sebaik ketika saat pertama aku dibeli. Karet bagian bawah sudah mulai tipis akibat kerasnya gesekan medan bumi yang dilalui Tuanku, warnaku pun sudah mulai memudar karena terpapar terik yang matahari, belum lagi bagian karet yang memeluk bagian jari sudah mulai koyak dimakan usia. Tak terasa air mataku pun meleleh, aku tahu kebersamaanku dengan Tuanku tidak akan lama lagi. Cepat atau lambat Tuanku akan berhenti memakaiku dan menggunakan sandal model terbaru. Tentu saja Tuanku tidak ingin menjadi bahan olok-olok kawan-kawannya hanya karena keberadaanku. Aku jelas akan sangat merindukan bermain-main lagi bersama Tuanku.

Pagi ini aku masih teronggok di rak sepatu Tuanku, biasanya selepas beduk Tuanku pulang dari sekolah dan kemudian pergi bermain ke empang. Aku kuatkan diri untuk tetap bersabar menanti kepulangan Tuanku tersayang. Aku sudah rindu ingin memeluk kakinya lagi. Lama aku menanti Tuanku tak kunjung kembali, perasaanku mulai gelisah, apakah ada sesuatu hal buruk yang menimpanya di jalan?
Tak terasa dari ufuk barat sinar matahari mulai temaram. Tuanku belum juga pulang. Hatiku semakin gelisah tak karuan. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka, Tuanku datang namun apa yang aku lihat! Tuanku datang dengan mengenakan sepasang sandal baru warna jingga. Bagian karetnya masih tebal dan nampaknya cukup nyaman untuk melandasi kaki Tuanku. Selain tulisan Made in Italy aku melihat penampilan sandal itu begitu cantik menggeliat manja di kaki tuanku. Sama sekali tidak ada kesempatan bagiku untuk bersaing dengan sandal baru itu.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Tuanku memasukkanku kedalam tas plastik kecil. Di kepalaku ada sejuta prasangka menyergap benakku, hatiku bertanya-tanya hendak dibawa kemana diriku pagi-pagi buta begini? Apakah Tuanku hendak membuangku? Aku bingung dengan sikap Tuanku ini. Dengan langkah cepat Tuanku berjalan menuju suatu tempat yang nampaknya telah direncanakan sebelumnya. Sepanjang perjalanan tak henti aku mengutuki kehadiran sandal baru dari Italy itu, tentu saja karena kehadirannyalah aku jadi tersingkir seperti sekarang ini. Aku mengiba dalam hati semoga Tuanku berubah pikiran dan tidak meninggalkanku sendiri.


Aku merasakan Tuanku telah sampai pada tempat tujuannya, dia letakkan aku yang masih dalam keadaan terbungkus tas plastik. Aku tidak mampu melihat dengan jelas dimana saat ini Aku dan Tuanku berada. Yang jelas aku tidak mencium bau busuk sampah yang berarti aku bukan di tempat pembuangan sampah pun aku juga tidak sedang akan dihanyutkan disungai karena aku tidak mendengar suara aliran air sungai didekat kami. Sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji dan terdengar pula suara Tuanku sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Sekonyong-konyong aku diambil oleh Tuanku dan diletakkannya dipelataran. Ternyata Tuanku membawaku ke surau tempat dia biasa mengaji. Berdasarkan apa yang aku dengar dari percakapan Tuanku, nampaknya Tuanku telah memberikanku kepada Takmir surau ini agar dapat digunakan jamaah maupun santri yang akan mengambil wudhu. Aku menghela nafas panjang ketika aku melihat Tuanku membalikkan badan dan beranjak pulang. Aku sadar Tuanku lah yang Maha berkehendak terhadap aku, tiada daya yang bisa aku lakukan untuk menghalangi kehendak Tuanku.

Saat ini aku menjalani kehidupan baruku sebagai sandal WC surau Tuanku. Setiap orang bebas menggunakanku lebih-lebih ketika mereka harus buang hajat. Meskipun demikian kadang aku masih dapat bertemu dengan Tuanku disini. Aku masih bisa menggenggam kulit kakinya dan memberikan pelayanan terbaikku melindungi dirinya. Semua ku jalani dengan sepenuh hati, toh esensi pengabdianku tetap sama sebagai sepasang sandal.

footnote:
1). Saya kira saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai sandal-sandal tapi untuk tulisan ini saya garansi 100% hasil karya pribadi (bukan bajakan)

2). Terimakasih kepada http://www.nafed.go.id/images/igds/D1_Sandal%20Weidenmann%20.jpg dan http://anakjenius.files.wordpress.com/2009/06/sandal-jepit.jpg atas gambar sandal-sandalnya.

3). Tulisan asli dapat dilihat pada alamat berikut : http://andikababulu.blogspot.com/2009/11/kisah-sepasang-sandal.html

1 Comments:

Andik mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

 
;