Jumat, 29 Mei 2009

Cucu Pertama


Pagi masih menyelimuti dinginnya hari itu, entah mengapa matahari nampaknya masih enggan menyinari dunia. Suhu di kota Malang di pagi hari bisa mencapai dibawah 20 derajat celcius. Meskipun cuaca begitu dingin namun tidak menyurutkan langkah seorang nenek tua mendorong kereta bayi melintasi jalanan berbatu. Nampaknya Sang Nenek tidak begitu peduli dengan cuaca pagi itu, keinginan untuk mengajak Cucu laki-lakinya untuk menikmati udara pagi jauh lebih kuat dan mampu mengalahkan rasa dingin. Selalu seperti itu setiap pagi, Nenek tidak pernah absen melakukan rutinitas jalan-jalan bersama cucu. Kasih sayang Nenek terhadap cucunya begitu terlihat ketika bayi laki-laki itu dengan hanya mengarahkan tangan kemana dia suka maka Nenek dengan senang hati mendorong kereta kearah tersebut.
"Kamu dulu juga gitu!" kata Ibu membuyarkan observasiku.
"Apa iya Bu?" sahutku.
"Iya donk, Mbah Kakung sayang banget sama kamu, kan kamu cucu pertama!" kata Ibu.
Kata-kata cucu pertama ini seperti menyeruak kedalam hati memenuhi pikiran dan mengajakku membuka kembali memori masa kecilku.

Aku memang cucu pertama dari keluarga Ibu, dari 8 bersaudara Ibu adalah anak pertama. Seingatku Ibu juga pernah bercerita kalau nama yang saat ini aku sandang juga ada urun rembug Mbah Kakung. Kelahiranku disambut suka cita keluarga besar Harjodarsono, sesuai adat jawa memiliki keturunan adalah salah satu rukun sah jadi orang jawa. Tentu saja ini belum termasuk memiliki keris atau memelihara perkutut . Kelahiranku adalah simbol kesuburan, penerus generasi dan kelangsungan eksistensi Trah keluarga besar Eyang Kartojiwo. Luar biasa bukan sosok kehadiran cucu pertama!Apalagi cucu pertamanya seorang laki-laki tentu saja makin besar harapan yang disandarkan.
Setiap kali pulang kampung maka Mbah Kakung selalu mengajakku pergi ke pantai. Mbah kakung memiliki obsesi sendiri terhadap pantai, sesuatu yang aku sendiri belum jelas sebab-musababnya tapi yang jelas Mbah kakung hafal betul pantai-pantai yang ada dipesisir selatan Yogyakarta. Mulai dari deretan pantai-pantai top 40 macam Pantai Parang tritis, Baron, Kukup, dan Krakal, bahkan hingga yang belum terdaftar di Dinas Pariwisata macam Pantai Sepanjang dan Pantai Siung. Padahal selain jarak tempuh berpuluh-puluh kilo, di usia yang sudah mencapai 75 tahun, Mbah Kakung masih hafal jalan-jalan menuju pantai-pantai tersebut.
Adik Mbah kakung juga sayang betul denganku, ketika usiaku menginjak 7 tahun, beliau yang ahli pertukangan, membuatkanku mainan kuda-kudaan dari kayu jati. Aku berani jamin di tahun 80-an hanya ada 1 dari 10 anak yang punya mainan kuda-kudaan dirumahnya. Kuda mainan itu menemaniku hingga masuk kelas 5 SD dan saat ini telah lenyap bersama puing-puing rumah lamaku.
Dalam hal pendidikan pun sebisa mungkin cucu pertama ini bersekolah selalu di sekolah unggulan. Setelah berhasil menempuh studi di SMP 1 Malang, aku juga berhasil menjadi salah satu murid SMA 3 Malang, sekolahnya anak-anak garda depan kota Malang. Dan kalaupun aku tidak terlalu pintar berhitung ataupun bermain logika namun aku memiliki toefl 550 tertinggi di Fakultasku.
Namun keadaan tidak selamanya berjalan mulus.
Saat kekuatan alam meminta aku bertransformasi dan bersikap selayaknya orang dewasa. Aku dipaksa harus bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri. Sebuah proses yang begitu panjang dan berliku. Dan aku juga merasakan bagaimana manusia tumbuh dan berembang dari satu situasi moral ke situasi moral lainnya. Perlahan dunia menunjukkan wajah aslinya padaku, seiring berjalannya waktu aku peroleh kenyataan bahwa hidup semakin tidak mudah.

Setelah beberapa kali berhasil membanggakan orang tua dan keluarga besar, kini ujian bukannya semakin mudah justru semakin susah. 6 tahun telah berlalu dari pertama kali aku masuk kuliah. Dan sampai hari ini sang cucu tertua belum juga sarjana. Kenyataan yang mengelisahkan Ayah dan Ibu ku, menggetirkan Kakekku dan Segenap keluarga besarku. Akankah cucu pertama berhasil menjadi orang sukses atau justru berakhir menjadi tukang mie ayam?
Aku terlalu larut dalam kegiatan diluar akademis sehingga menuai kemelut di saat semester sudah tidak lagi muda. Keadaan ini membuat terkadang aku merasa malas, merasa kalah. Saat berjalan tak lagi cepat, berangkat dan pulang kuliah tanpa ada ilmu yang merasuk dalam hati. Aura positif, semangat dan keinginan mendadak sirna. Rasa-rasanya keadaan sudah demikian parah sampai-sampai sudah tidak tersisa harapan lagi bagiku. Tidak ada lagi mimpi-mimpi mengisi hari-hariku lagi.
Disudut kamar aku menangis sejadi-jadinya, cucu pertama yang meregang dicambuk kehidupan. Hanya tinggal 1 tahun lagi maka aku akan drop-out! Memalukan sungguh memalukan!

Durhaka bukan buatan rasanya diriku ini, setiap malam Ibu menyempatkan diri untuk berdoa buat anaknya dan selalu menguatkan diri berpuasa juga demi anaknya. Ayah juga tidak kurang perhatiannya padaku. Dia selalu berusaha memenuhi kebutuhan anaknya.
Ayah bukan dari keluarga berada, keluarga Ayah di desa tidak pernah memasak dengan minyak tanah. Hanya hidup mengandalkan hasil berladang kacang tanah yang kadang tidak menentu pendapatannya. Namun ditengah keterbatasan tersebut justru Ayah berhasil menjadi salah satu pemuda yang sukses di kampungnya. Alih-alih menjadi petani seperti umumnya pemuda di kampung, Ayah berhasil merantau dan menamatkan kuliah sembari bekerja. Sebuah perjuangan hidup luar biasa yang belum tentu bisa dilakukan olehku.
Aku terharu melihat kenyataan-kenyataan yang aku alami, mataku berkaca-kaca. Aku telah sia-siakan kehormatan bergabung menjadi garda depan di SMA favorit yang tidak semua orang mampu mendaftar disana. Tragedi terbesar dalam kehidupan adalah ketika aku mulai berhenti bercita-cita. Kata-kata ini begitu tepat menusuk hatiku, ngilu aku dibuatnya.
Aku membayangkan perasaan Ayah sekarang, setiap kali beliau ditanya orang mengenai anak lakinya ini. Sudah luluskah? Kerja dimana?
Aku merasa kecewa, aku merasa telah mengkhianati harapan mereka.
Anak yang tidak mampu memenuhi harapan orang tua! Meskipun Ayah tidak pernah berlebihan memberikan selamat ketika aku berprestasi, namun aku tau dari Ibu kalau Ayah selalu menceritakan hal itu kepada rekan-rekan kerjanya. Namun sekarang apalagi yang bisa Ayah ceritakan?

Aku menciut, lututku lemas ditikam rasa malu dan bersalah.
Malam begitu sunyi menyapa diriku, rasa-rasanya kepedihan itu begitu dalam menyayat hati hingga air membasahi kedua mataku. Aku terpuruk dalam sekali. Aku mengalami malam terburuk dalam hidupku.
Pagi kembali menyapa, tidak ada yang berubah, Ayah selalu bangun pagi lalu mandi dengan air hangat sebelum kemudian berangkat menuju masjid, Ayah juara satu di dunia. Ibu juga sudah terjaga beranjak mengambil air wudhu. Aku juga tidak mau kalah, dengan sarung dan baju koko lebaran kemarin aku juga mengikuti Ayah menuju ke masjid. Meskipun aku sudah banyak melakukan kesalahan dan mungkin mempermalukannya, kasih sayang mereka tidak luntur sedikitpun. Aku tetap cucu pertama kesayangan keluargaku. Aku tertunduk diam.
Maka aku bersumpah tidak akan mendahului nasib. Entah sukses atau gagal yang penting aku tak surut langkah! Aku mulai bermimpi lagi, karena Cuma mimpi yang akan memberi aku semangat untuk kembali bertempur di pentas kehidupan. Setiap malam teriring doa setiap pagi berkobar semangat, diamku adalah nyanyian sunyi rasa sayangku untuk Ayah dan Keluarga Besarku.

2 Comments:

Anonim mengatakan...

My dearest Nephew,
Mungkin kamu memang terlambat melalaui ujian akhir skripsimu, tapi saat ini kamu tengah menghadapi ujian perjuangan menghadapi dirimu sendiri. ujian yang jauh lebih penting dalam hidupmu. Bulik pernah berada dalam keadaan yang lebih buruk darimu.. tapi terbukti bulik bisa bangkit kan.. Banyak sekali yang akan kamu dapat jika berhasil melewati ujian ini, yakni jati dirimu, dirimu dihadapan Allah, dihadapan Masyarakat, Keluarga...

Satu hal yang memberi keteguhan bagi Bulik saat terpuruk.. yakni kepercayaan yang diberikan Mbah Kakung dengan diamnya... Kepercayaan Keluarga di Malang, Kamu, adik, Papa, Mama yang selalu tanya kapan bulik ujian...

Bulik kuat karena bulik dianggap 'bisa'. Dan itu yang ada dalam benak bulik sekarang.. kamu bisa Ndik, ini terlalu kecil untuk menjatuhkanmu....

Andik mengatakan...

aku bisa aku pasti bisa kutakmau berputus asa, hehe..Bul gak punya account facebook kah? bikin lah..biar aku add ma adik juga

Posting Komentar

 
;