Jumat, 06 Agustus 2010

Titik Balik

Indahkanlah diri dan pribadimu, sebagai hadiah yang membahagiakan kekasih, keluarga, dan orang lain.

Tetapi jika mereka tak menghargai niat dan kebaikanmu,
bersabarlah.

Sesungguhnya setiap jiwa hanya bertanggung-jawab atas dirinya sendiri.

Peliharalah keterhubungan hatimu dengan Tuhan, bahkan di dalam pengabaian dan perendahan oleh orang lain.

Engkau jiwa yang khusus bagi Tuhan.
Bersabarlah.
Mario Teguh


Matahari menyeruak dari celah tirai tua yang menutupi celah dinding belakang kost. Mengeringkan tetes embun dan hujan kemarin sore. Sebagian sinarnya menyelusup masuk ke dalam kamarku di Slipi. Di timur langit biru terbuai, pertanda hari ini akan cerah luar biasa.
Berduyun-duyun pekerja berarak dari sudut-sudut kota Jakarta ibarat lebah mereka datang berkelompok, berpindah berkelompok, pulang berkelompok, ramai-ramai dan serentak, akibatnya saling tidak mau mengalah, berebut ingin segera sampai, akhirnya malah tumpah ruah, di jalan.

Aku lincah. Menjadi bagian dari "lebah-lebah" pekerja itu. Berayun disela-sela truk tronton. Berkelit dari Busway. Meskipun begitu sejatinya jantungku berdegup ekstra kencang. Salah perhitungan sedikit saja, nyawaku taruhannya.
Pasar Minggu, Pasar Kebayoran Lama, Pasar Pagi, Pasar Klender, Pasar Palmerah, Pasar Cengkareng, Terminal Bandara, Stasiun Kota, Stasiun Gambir, Terminal Pulo Gadung, Bandar Asongan Grogol, Asongan Kramat Jati. Dari Ujung Barat Citra Garden hingga ujung timur Pasar Kranji. Dari ujung utara Terminal Tanjung Priok hingga paling selatan Pasar Lenteng Agung. Itu adalah daerah-daerah yang selama 8 bulan ini aku akrabi secara intens. Selama 8 bulan itu aku jalani semua ini dengan penghayatan penuh seluruh ala Andrea Bocelli dan Sarah Brightman dalam lagunya "time to say goodbye".

Aku selalu lincah tapi suatu hari aku berhenti. Sebuah cerita dari seorang kawan membuyarkan semuanya. Seketika aku berdoa "Ya Allah,aku mohon Engkau membukakan semuanya..semuanya ya Allah..aku ingin kejelasan". Sungguh Tuhan Maha Mendengar doa-doa kita. Tiba-tiba secara perlahan tapi pasti aku menemukan jawaban itu sendiri. Kenyataan tentang atasan yang tidak jujur, tidak amanah, rekan yang berkhianat, dan kebobrokan-kebobrokan lain. Aku tercekat. Duniaku limbung.

Beberapa hari terakhir aku tidak lagi lincah. Berhari-hari aku memikirkannya. Sungguh berat menjadi orang dewasa itu. Tidak lagi menggantungkan diri namun harus jadi mandiri. Saat inilah baru aku dapatkan kenyataan hidup no.1 : Sejak kau menginjak usia dua puluhan tahun, hidup tidak lagi mudah. Dan di sini, disebuah sisi kota Jakarta, aku terpengkur, terperangkap, menerawang...

Idealisme kerjaku berantakan,mimpi-mimpi serasa porak-poranda, aku memang bukan orang yang betul-betul bersih dari dosa, namun ketidakadilan dan kecurangan yang ada begitu nyata, tak terelakkan dan begitu telak menikam hati kecilku.
Aku sendiri dan kawanku yang menyaksikan, kecurangan di gudang, kecurangan di kantor, kepicikan, manipulasi dan mafia-mafia kecil dalam bisnis ini. Aku takut menjadi bagian dari mereka. Namun aku masih terus berada dalam lingkaran ini, mendengar pandangan mereka, melihat perilaku mereka, dan lambat laun menarik satu per satu seperti mereka.
Sekarang setiap kali team meeting dan membuai kami dengan "puisi-puisi indah", aku hanya menunduk, menghitung hari yang tersisa untuk hanya sekedar melakukan yang standar. Terkadang aku hanya merebahkan diri di serambi masjid dikala bedug dan menghabiskan waktu hingga petang menjelang. Masa mudaku yang berapi-api serasa padam. Kurva hidup yang terus menurun ke bawah menyeretku menjadi pribadi yang
stagnan.

Orang muda harus jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, patah hati sepatah-patahnya, tertawa marah sedih rajin dan malas segila-gilanya,

tetapi,
...
dia harus segera bangkit, mendewasa, berdiri gagah, dengan bekas-bekas luka yang indah di wajah dan dada,

dan dengan anggun dan berwibawa,
dia berkata

Dengan kewenangan yang diberikan oleh Tuhan kepadaku,
dengarlah

AKULAH PENENTU KEBESARAN HIDUPKU SENDIRI.

Mario Teguh


Aku menunduk dalam ketika adzan jumat hari ini, sudut mataku basah menekuri lantunan suara sang muadzin. Betapa kecil eksistensiku di dunia ini. Betapa manusia maha tidak tahu segala hal. Betapa manusia hanya pelaku dan Tuhanlah yang menentukan jalannya sebuah cerita. Betapa mungkin sesungguhnya manusia tidaklah berkehendak, namun semuanya adalah kehendak-Nya. Betapa misteriusnya cara Allah membuka pikiranku, menyambung noktah-noktah kehidupanku, menuntunku mengumpulkan kepingan mozaik kehidupanku. Aku menjadi geram sekali. Pipiku telah basah. Anganku melayang kepada Ayah no.1 di dunia, Ibu yang penyayang, Adikku. Aku lalu melihat secercah sinar harapan diujung sana. Aku harus berlari menghampirinya. Pantang aku kemudian berpaling dari ikhtiar dan bersabar menjalani setiap episode-Nya. Aku harus berlari semakin kencang menangkap segala peluang. Bayangan keluarga kecilku ...anak dan istriku kelak..dalam syahdu jumat siangku kulantunkan doa titik balik kehidupanku. Bismillah ya Alloh

0 Comments:

Posting Komentar

 
;